Kepastian Hukum Pertambangan Pulau Kecil Dipertanyakan

KENDARIKINI.COM – Perhimpunan Mahasiswa Pertambangan Indonesia (PERMATA Indonesia) menyoroti ketidakpastian hukum dalam regulasi pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang dinilai dapat menghambat investasi dan mengancam keberlanjutan industri pertambangan nasional.
Dalam kajian strategis mereka yang dirilis pada Juni lalu (23/6/2025) dengan judul “Kekacauan Regulasi, Lahirkan Ambiguitas dan Dilematis Pertambangan di Pulau-Pulau Kecil”, mereka menekankan agar pemerintah harus segera memperjelas payung hukum kegiatan pertambangan di pulau kecil.
“Regulasi yang ambigu, layaknya “jebakan batman” bagi para pelaku usaha. Bagaimana mungkin pemerintah memberikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada perusahaan, tetapi di sisi lain, operasinya terancam dihentikan secara mendadak karena alasan regulasi yang ambigu? Ini bisa menciptakan ketidakpastian investasi yang sangat merugikan,” ungkap Sekretaris Jenderal PERMATA Indonesia, Ahmad Sagito.
KONTRADIKSI DAN AMBIGUITAS HUKUM
Menurut Kajian Strategis PERMATA INDONESIA, perbedaan pandangan terhadap penafsiran UU No. 1 Tahun 2014 (UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil/UU PWP3K) menimbulkan polemic dan ambiguitas makna.
Konsekuensi dari ambiguitas makna tersebut terjadi dalam penggunaan sejumlah pasal di dalamnya sebagai dasar untuk menghentikan operasi tambang yang sudah berjalan.
Polemik dimulai ketika Pasal 23 ayat 2 dan Pasal 35 huruf K yang ditafsirkan sebagai larangan tanpa syarat terhadap kegiatan pertambangan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui putusannya No. 57 P/HUM/2022. Sementara itu, Mahkamah Konsitusi (MK) melalui pertimbangan dan putusannya Nomor 35/PUUXXI/2023 menyatakan tidak demikian.
Ahli Hukum Tata Negara yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Dr. Aan Eko Widiarto, SH., M.Hum. menilai kejelasan penafsiran hukum menjadi kunci dalam memberikan kepastian hukum. UU PWP3K ini seharusnya dibaca sebagai aturan yang memperbolehkan kegiatan pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan persyaratan yang berlaku.
Dirinya menjelaskan, dalam memaknai Pasal 23 ayat 2 UU PWP3K, maka perlu memaknai operator norma pada pasal tersebut, yakni kata “diprioritaskan” secara metode harfiah. Arti kata “prioritas” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “didahulukan dan diutamakan dibanding yang lain”.
Maka, pasal ini tidak bisa dimaknai sebagai larangan mutlak karena boleh ada pemanfaatan selain pemanfaatan prioritas.
“Kepentingan pemanfaatan lain tidak dilarang. Namun, apabila dalam keadaan yang sama-sama diperlukan dan ada keterbatasan sumber daya lingkungan, maka kepentingan prioritaslah yang diutamakan,”
“Lalu, jika hanya ada satu rencana pemanfaatan, tetapi tidak masuk kepentingan prioritas, maka pemanfaatan itu tidak dilarang untuk dijalankan,”
“Dan apabila sumber dayanya cukup, lalu ada pemanfaatan yang masuk prioritas dan ada yang tidak masuk prioritas, maka pemanfaatan dapat dilaksanakan bersama-sama,” jabarnya.
Berlanjut pada pemaknaan Pasal 35 huruf k UU PWP3K, Dr. Aan menerangkan adanya dua operator norma, yaitu kata “dilarang” dan “apabila”. Dengan metode penafsiran harfiah berdasar KBBI, maka kata “larang/terlarang” dapat diartikan sebagai “tidak diperbolehkan/tidak diperkenankan” dan kata “apabila” diartikan dengan “jika/atau”.
“Artinya (penambangan) boleh dilakukan dengan syarat. Larangan ini pun bersifat kondisional dan setelah aktivitas berjalan, bukan secara mutlak. Pemaknaan ini sejalan dengan tafsiran pihak dari pemerintah,” terang Dr. Aan.
Juru bicara Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Wilayah Sulawesi Tenggara (Perhapi Sultra), Ahmad Faisal, juga turut menanggapi ramainya narasi yang menyebutkan bahwa MK telah melarang mutlak aktivitas pertambangan di wilayah tersebut. Kesimpulan ini pun dinilai keliru dan dipicu oleh disinformasi di media.
“Majelis hakim MK secara tegas menyatakan bahwa tidak ada larangan mutlak terhadap aktivitas di luar prioritas tertentu, termasuk pertambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau kecil,” ujar Faisal dalam pernyataan tertulisnya (22/1).
Lebih lanjut, Faisal mengutip putusan MK yang menegaskan bahwa UU PWP3K harus dipahami sebagai aturan yang mengizinkan aktivitas pertambangan selama memenuhi persyaratan wajib.
Menurutnya, pulau-pulau kecil yang memiliki potensi sumber daya alam, baik hayati maupun non-hayati, dapat dimanfaatkan sebagai penopang ekonomi nasional. Pemanfaatan ini, lanjutnya, juga harus memperhatikan aspek ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, dan kedaulatan bangsa.
Namun demikian, Faisal tetap mengingatkan bahwa pulau-pulau kecil memiliki kerentanan tinggi terhadap pengaruh eksternal dan kegiatan pembangunan. Oleh karena itu, regulasi yang ada dirancang untuk menjamin pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara proporsional dan berkelanjutan.
DESAKAN PERMATA INDONESIA TERHADAP PEMERINTAH
Melihat fenomena tersebut, Sekretaris Jenderal PERMATA INDONESIA, Ahmad Sagito, menegaskan bahwa dalam era modern dengan kemajuan teknologi saat ini, dikotomi antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan ekologis sudah tidak relevan lagi.
“Kata kunci utama adalah sinergi. Pembangunan harus berjalan beriringan dengan pelestarian lingkungan. Karenanya, perspektif yang mengadu domba kedua aspek tersebut hanya akan menghambat tercapainya solusi holistik, mengingat ekonomi kerap diprioritaskan secara sepihak,” pungkasnya.
Lebih lanjut, dirinya menyatakan bahwa PERMATA INDONESIA melalui kajiannya telah mengembangkan suatu model regulasi berbasis kriteria selektif dalam perizinan pertambangan di wilayah pulau kecil, dengan memprioritaskan aspek keberlanjutan dan ketahanan ekosistem. Rumusan model regulasinya di antaranya:
1. Izin hanya bisa diberikan kepada perusahaan yang sehat secara lingkungan dan manajemen.
2. Wajib memiliki website yang dapat diakses publik sebagai bentuk transparansi.
3. Audit lingkungan dan sosial tahunan oleh tim independen.
4. Memiliki kajian lingkungan hidup yang komprehensif.
5. Adanya kajian sosial dan ekonomi yang komprehensif untuk menjamin keberlanjutan dan keadilan bagi masyarakat lokal.
6. Pembatasan wilayah pertambangan di pulau kecil (khususnya, perlindungan ekosistem dan masyarakat berbasis prinsip keberlanjutan).*