Sanksi Pemberhentian Sementara Kementerian ESDM ke PT SLG Dinilai Sudah Tepat

KENDARIKINI.COM – Pemberian sanksi administratif peringatan ketiga kepada PT Suria Lintas Gemilang (SLG) atas kelalaian dalam penempatan jaminan reklamasi memicu perhatian publik di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Sanksi ini dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), melalui surat Nomor B‑727/MB.07/DJB.T/2025 tertanggal 16 Mei 2025.

Surat tersebut menegaskan bahwa PT SLG terbukti melanggar kewajiban hukum dalam penempatan jaminan reklamasi sebuah instrumen penting untuk memastikan keberlanjutan lingkungan pascatambang.

“Pengenaan sanksi ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga mengandung pesan moral dan regulatif agar pelaku usaha pertambangan lebih patuh terhadap ketentuan,” bunyi surat ESDM tersebut.

Sesuai regulasi, setiap pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) wajib menempatkan jaminan reklamasi dan pascatambang sesuai periode waktu yang ditentukan. Ketidakpatuhan terhadap kewajiban ini dapat dikenai sanksi bertahap, mulai dari peringatan tertulis hingga pencabutan izin.

PT SLG dinilai melakukan tiga pelanggaran utama yaitu,
1. Telah menerima peringatan kedua sebelumnya, sehingga bukan pelanggaran pertama.
2. Belum menempatkan jaminan reklamasi untuk seluruh periode hingga 2025.
3. Tidak menindaklanjuti perbaikan permohonan jaminan sesuai batas waktu yang ditetapkan.

“Ketiga pelanggaran ini memperkuat dasar hukum untuk menjatuhkan sanksi administratif peringatan ketiga,” ujar perwakilan Dirjen Minerba.

Kontroversi Video Dirut Sutomo
Kritik publik semakin meluas setelah beredar video pernyataan Sutomo, Direktur Utama PT SLG sekaligus Presidium MN KAHMI, yang meminta Presiden Prabowo Subianto mencopot Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Ia mengklaim bahwa pemberhentian sementara aktivitas tambang milik perusahaannya “telah merugikan masyarakat Kolaka”.

Namun, banyak pihak menilai pernyataan tersebut tidak berdasar. Sebab, penghentian operasional dikeluarkan oleh Dirjen Minerba, bukan Menteri ESDM secara langsung. Seruan pencopotan tersebut dianggap sebagai bentuk serangan personal yang tidak sesuai prosedur hukum.

“Sebagai tokoh publik, seharusnya Sutomo mengedepankan argumentasi hukum, bukan pendekatan emosional yang berpotensi memperkeruh situasi,” ujar salah satu pengamat kebijakan publik di Kendari, Ghiyasullah Varoq Hamid Al-Khayyam.

Kasus PT SLG mencerminkan realitas lemahnya kepatuhan terhadap kewajiban reklamasi di sektor pertambangan. Hal ini memperkuat temuan-temuan organisasi lingkungan seperti Mongabay Indonesia, yang telah lama menyoroti persoalan ini di Sulawesi Tenggara.

Dalam laporan Mongabay berjudul “Berharap Hutan Sultra Tak Terus Terbagi jadi Bisnis Ekstraktif”, disebutkan bahwa “Sulawesi Tenggara dikepung izin pertambangan dan industri yang kian ekspansif, sementara pengawasan dan pelaksanaan reklamasi tambang masih lemah.” (Mongabay.co.id, 6 September 2018).

Laporan itu juga menggarisbawahi bahwa lemahnya pengawasan reklamasi turut memperburuk kondisi lingkungan dan mengancam keberlanjutan hidup masyarakat sekitar tambang.

Penegakan Hukum dan Harapan ke Depan
Langkah tegas Kementerian ESDM melalui Dirjen Minerba dalam menjatuhkan sanksi administratif ini dianggap sebagai upaya penting untuk menegakkan hukum.

“Penegakan sanksi ini harus dipahami sebagai bentuk pembinaan dan penertiban, bukan semata tindakan represif,” ujar pejabat ESDM yang enggan disebut namanya.

Ke depan, pemerintah diharapkan konsisten dalam menjalankan prinsip law enforcement agar pelanggaran serupa tidak terulang.

“Penegakan hukum yang konsisten adalah fondasi utama bagi keberlanjutan industri pertambangan, agar kepentingan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat bisa berjalan beriringan,” tutupnya.

Berita Terkait