Tiga Belas Pemicu Persoalan Tenurial Terkait Legalitas Kawasan Hutan yang Diselesaikan dalam Undang-undang Cipta Kerja

Oleh : Dr. Pernando Sinabutar (Kepala BPKHTL Wilayah XXII Kendari)

Persoalan tenurial dalam kawasan hutan seringkali justru terjadi pasca kawasan hutan memiliki legalitas. Legalitas kawasan hutan diperoleh melalui proses pengukuhan kawasan hutan.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan pada Pasal 15, disebutkan bahwa pengukuhan kawasan hutan merupakan rangkaian proses penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan.

Secara operasional, pengukuhan kawasan hutan diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) Nomor 7 Tahun 2021 yang mengatur perencanaan kehutanan, perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan, serta penggunaan kawasan hutan.

Pemicu persoalan tenurial kawasan hutan justru terjadi saat kawasan hutan tersebut telah memiliki legalitas. Kaitannya dengan itu, PermenLHK Nomor 7 Tahun 2021, khususnya BAB VI Ketentuan Peralihan, didetilkan beberapa jurus untuk menyelesaikan persoalan tenurial pasca legalitas kawasan hutan. Ketentuan Peralihan itu, mengurai masalah tenurial kawasan hutan pasca legalitas kawasan hutan.

Tipologi Masalah Tenurial Pasca Legalitas Kawasan Hutan

Ada 4 (empat) masa penerbitan keputusan terkait kawasan hutan di Indonesia setelah penetapan zaman kolonial, antara lain (1) Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK); (2) Peta Penunjukan Kawasan Hutan Hasil Paduserasi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; (3) Keputusan Menteri tentang Perubahan Peruntukan, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan menjadi Kawasan Hutan; dan (4) Keputusan Menteri tentang Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi. Dalam masa itu, kawasan hutan yang telah ditetapkan (memiliki legalitas) adalh seluas 99.659.195,50 Ha (79,22%) sampai dengan Desember 2012 dari luas kawasan hutan 125.795.306 Ha. Dengan demikian, kawasan hutan yang belum ditetapkan adalah 26.136.110,50 Ha (20,78%).

Tipologi masalah tenurial kawasan hutan pasca legalitas kawasan hutan antara lain :

1. Kawasan hutan berdasarkan TGHK telah ditata batas atau disahkan atau ditetapkan, namun dalam peta penunjukan hasil paduserasi dengan TGHK mengalami perubahan batas penyelesaiannya menggunakan Pasal 518 ayat (1) UU Ciptaker Kawasan hutan mengacu pada peta penunjukan kawasan hutan hasil paduserasi rencana tata ruang wilayah provinsi.

2. Kawasan hutan hasil penunjukan kawasan hutan telah ditata batas, dan tidak mengalami perubahan dalam rencana tata ruang provinsi penyelesaiannya menggunakan Pasal 518 ayat (2) dan (4) UU Ciptaker Kawasan hutan mengacu pada hasil tata batas kawasan hutan, dan selanjutnya mengacu pada Keputusan Menteri tentang Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi terakhir.

3. Kawasan hutan dalam revisi tata ruang provinsi mengalami perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan penyelesaiannya menggunakan Pasal 518 ayat (3) Kawasan hutan mengacu pada Keputusan Menteri tentang Perubahan Peruntukan, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dan Penunjukan Bukan Kawasan hutan menjadi Kawasan Hutan.

4. Dokumen BATB dan peta lampirannya :

– tidak ditemukan atau hilang penyelesaiannya menggunakan 519 ayat (1) dan (3) UU Ciptaker batas kawasan hutan dinyatakan hapus dan tidak berlaku, dan penentuan batas kawasan hutan didasarkan pada peta penunjukan kawasan hutan atau perubahannya dan dilakukan tata batas ulang.

– tidak ditemukan, tetapi dokumen penetapan lengkap penyelesaiannya menggunakan Pasal 519 ayat (2) Dibuat dokumen BATB baru berdasarkan pal batas lapangan dan dokumen penetapan kawasan hutan yang disepakati PTB kawasan hutan

– tidak ditemukan, namun tersedia peta lampirannya penyelesaiannya menggunakan Pasal 519 ayat (3) UU Ciptaker Dapat dilakukan proses penetapan kawasan hutan

– tidak ditandatangani seluruh panitia tata batas kawasan hutan/panitia tata batas fungsi atau instansi/dinas penyelesaiannya menggunakan 519 ayat (5) UU Ciptaker Dapat dilakukan proses Penetapan Kawasan Hutan sepanjang Tata Batas definitif sama dengan Tata Batas sementara

– berupa fotokopi baik lengkap maupun tidak lengkap sepanjang dapat dipetakan Temu Gelang penyelesaian menggunakan 519 ayat (6) Dilakukan proses Penetapan Kawasan Hutan

– tidak ditemukan namun Pal Batas di lapangan telah disepakati panitia tata batas Kawasan Hutan saat pelaksanaan Tata Batas definitif penyelesaiannya menggunakan 519 ayat (7) Panitia tata batas Kawasan Hutan membuat dan menandatangani BATB baru berdasarkan koordinat Pal Batas definitif yang sudah dipasang dan disepakati Panitia Tata Batas Kawasan Hutan sebelumnya.

5. Tiga Belas Pemicu Persoalan Tenurial Terkait Legalitas Kawasan Hutan yang Diselesaikan dalam Undang-undang Cipta Kerja penyelesaiannya menggunakan Pasal 519 ayat (8) UU Ciptaker Tata Batas dilaksanakan pada Kawasan Hutan sesuai kondisi di lapangan yang diakui masyarakat dengan dituangkan dalam BATB.

6. Hasil tata batas kawasan hutan tidak memenuhi syarat secara teknis dan yuridis penyelesaiannya menggunakan Pasal 519 ayat (9) UU Ciptaker dilakukan Tata Batas Kawasan Hutan ulang.

7. Dokumen BATB yang telah selesai, namun proses pengesahannya oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri belum dapat dilakukan karena terdapat perbaikan bersifat administratif dan teknis, hasil tata batas penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan lebih besar dari persetujuan pola penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan dan surat perintah tata batas, sepanjang BATB tersebut telah disahkan PTB kawasan hutan penyelesaiannya menggunakan Pasal 519 ayat (10) UU Ciptaker dapat dilanjutkan proses pengesahannya baik terhadap keseluruhan atau sebagian atas dokumen BATB sebagai dasar Penetapan Kawasan Hutan.

8. Dokumen BATB disahkan sebagian karena karena terdapat perbaikan bersifat administratif dan teknis; hasil Tata Batas PPTKH lebih besar dari Persetujuan Pola PPTKH dan Surat Perintah Tata Batas penyelesaiannya menggunakan Pasal 519 ayat (11) UU Ciptaker pada lembar pengesahan dituliskan keterangan bagian Nomor Pal Batas yang tidak disahkan disertai keterangan alasan tidak disahkannya batas sesuai Nomor Pal Batas serta pencoretan pada Nomor Pal Batas dalam dokumen BATB dan atau Peta lampiran BATB untuk dilakukan Tata Batas Kawasan Hutan ulang.

9. Dokumen BATB dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan tidak lengkap atau sebagian dokumen dinyatakan hilang tetapi dapat dipetakan secara teknis penyelesaiannya menggunakan Pasal 519 ayat (12) UU Ciptaker dapat dilakukan Penetapan Kawasan Hutan.

10. Dokumen BATB dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan tidak bisa dipetakan, penyelesaiannya menggunakan Pasal 520 ayat (1) dan (2) UU Ciptaker Balai melakukan orientasi lapangan dengan pemeriksaan dan pengukuran posisi Pal Batas di lapangan berdasarkan Tanda Batas, Buku Ukur dan BATB serta Peta Hasil Tata Batas Kawasan Hutan yang tersebar secara proporsional sebagai titik ikat. Hasilnya dituangkan dalam Berita Acara.

11. Batas kawasan hutan dinyatakan hapus dan dinyatakan tidak berlaku penyelesaiannya menggunakan Pasal 521 ayat (1) dan (2) UU Ciptaker apabila dalam Keputusan Menteri tentang Kawasan Hutan Provinsi hasil Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan sejalan dengan proses revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi mengalami perubahan batas Kawasan Hutan, terdiri atas: a. dinyatakan sebagai bukan Kawasan Hutan; b. mengalami penambahan luas Kawasan Hutan; atau c. mengalami pengurangan luas Kawasan Hutan. Kemudian, ditindaklanjuti dengan pencabutan Tanda Batas di lapangan dan dibuat Berita Acara pada saat pelaksanaan Penataan Batas perubahan Kawasan Hutan.

12. Kawasan hutan yang telah ditetapkan yang luasannya kecil sehingga secara teknis tidak dapat dipetakan dalam peta kawasan hutan dan perairan provinsi penyelesaiannya menggunakan Pasal 523 UU Ciptaker dinyatakan tetap berlaku sebagai Kawasan Hutan dan dituliskan pada legenda Peta atau dipetakan pada inset Peta atau dituliskan pada daftar lampiran Keputusan Menteri

13. Dalam hal terjadi perbedaan antara Peta Penunjukan Kawasan Hutan, Peta hasil Tata Batas Kawasan Hutan yang telah disahkan, Pemetaan hasil Tata Batas Kawasan Hutan, Peta Penetapan Kawasan Hutan, Peta Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dalam rangka Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, atau Peta Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan serta Wilayah Tertentu yang ditunjuk sebagai Kawasan Hutan penyelesaiannya menggunakan Pasal 524 Sebagai acuan adalah Keputusan Menteri Kehutanan tentang Peta Kawasan Hutan Provinsi yang terakhir atau Peta sesuai proses Pengukuhan Kawasan Hutan terakhir.

BATB Kawasan Hutan sebagai Akta Autentik

BATB Kawasan Hutan atau pada masa Hindia Belanda dinamakan Proces Verbal van Gresregeling adalah akta autentik seperti telah dijelaskan penulis dalam Majalah Agro Indonesia Volume XVII Nomor 774 (Halaman 11), 25-31 Agustus 2020. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa BATB Kawasan Hutan adalah dokumen yang merupakan hasil dari kegiatan pengukuhan kawasan hutan, yaitu suatu rangkaian kegiatan penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan yang dimaksudkan untuk memperoleh kepastian hukum tentang status, batas, luas dan letak kawasan hutan. Dalam perspektif hukum perdata, BATB Kawasan Hutan atau Proces Verbal van Gresregeling merupakan dokumen bukti penguasaan kawasan hutan negara, yang berstatus sebagai Akta Autentik, karena telah memenuhi ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata (Burgerlijke Wetboek/BW), yaitu : (a) dibuat dalam bentuk yang ditetapkan undang-undang (UUCK dan turunannya); (b) dibuat oleh pejabat umum yang berwewenang (Panitia Tata Batas (PTB)); dan (c) pejabat umum yang membuat akta (BATB) tersebut mempunyai kewenangan di tempat dimana akta proses verbal tata batas tersebut dibuat (Pasal 20, menjelaskan tugas panitia tata batas).

Pengukuhan kawasan hutan, tepatnya pada proses penataan batas pada masa Hindia Belanda sampai dengan saat ini tidak dilaksanakan secara sepihak oleh Jawatan Kehutanan/Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melainkan juga telah melibatkan unsur pejabat sesuai dengan kewenangan masing-masing sebagaimana ditetapkan dalam PTB. Kekuatan pembuktian BATB kawasan hutan negara didasarkan pada kekuatan pembuktian menurut pendapat umum yang dianut, bahwa pada setiap akta autentik, demikian juga pada akta pejabat (ambtelijke acte, process-verbaal acte), dibedakan 3 (tiga) kekuatan pembuktian, yakni : (a) kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht), yang dimaksudkan kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta autetik, artinya menandakan dirinya dari luar, dari kata-katanya sebagai yang berasal dari seorang pejabat umum; (b) kekuatan pembuktian formal (formele bewijskracht), bahwa akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri oleh pejabat tersebut di dalam menjalankan jabatannya; dan (c) kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht), berisikan keterangan yang diberikan dengan pasti oleh pejabat umum (berdasarkan apa-apa yang terjadi, dilihat dan didengar), dianggap benar isi keterangan tersebut, maka berarti berlaku terhadap setiap orang.*



Kendari Kini bisa diakses melalui saluran Google News atau Google Berita pada link ini.

👇

Saluran Google News Kendarikini.com



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait