Kuasa Khusus Kopperson: Hukum Inkracht Harus Dihormati, Sebaiknya JPKP Sultra Tidak Cederai Kedaulatan Negara

KENDARIKINI.COM – Polemik terkait lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) Koperasi Perikanan/Perempangan Soananto (Kopperson) kembali menyeruak setelah munculnya pernyataan Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP) Sultra. Pernyataan itu menuding langkah Pengadilan Negeri Kendari sebagai tindakan yang “mencederai rasa keadilan sosial” masyarakat.
Namun, jika ditelaah lebih dalam, statemen JPKP justru menimbulkan pertanyaan besar: apakah lembaga ini benar-benar memahami duduk perkara, atau sekadar berspekulasi tanpa dasar hukum yang kuat?
Putusan Inkracht Adalah Perintah Negara
Fianus Arung selaku Kuasa Khusus Kopperson menegaskan bahwa kasus lahan ini bukanlah perkara baru. Putusan perdata Nomor 48/Pdt.G/1993/PN Kdi telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) setelah melalui seluruh upaya hukum. Artinya, tidak ada lagi ruang untuk menafsirkan ulang apalagi menolak pelaksanaan eksekusi.
Dasar hukum:
Pasal 196 HIR: setiap putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap mempunyai titel eksekutorial dan wajib dijalankan.
Pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997: sertipikat tanah hanya berlaku sah sepanjang tidak ada sengketa atau pembatalan.
Pasal 3 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: setiap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan.
“Kalau negara melalui pengadilan sudah memutus dan putusan itu inkracht, maka itu bukan sekadar putusan hakim, melainkan perintah negara. Menolak atau menggiring opini untuk tidak melaksanakan putusan sama saja dengan menolak kedaulatan hukum,” tegasnya.
Tidak Ada “Daluarsa” dalam Eksekusi Putusan
Pengurus JPKP Sultra, Nasrullah, menyebut putusan lama itu “daluarsa”. Padahal, dalam sistem hukum Indonesia, putusan pengadilan yang sudah inkracht tidak pernah kehilangan kekuatan eksekutorialnya hanya karena faktor waktu.
Dasar hukum:
Pasal 200 ayat (11) HIR: tidak ada daluarsa dalam eksekusi putusan pengadilan.
Putusan Mahkamah Agung No. 3199 K/Pdt/1984: putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tetap dapat dieksekusi meskipun sudah lama.
Jadi, argumen “30 tahun daluarsa” adalah keliru dan menyesatkan publik.
HGU Tidak Bisa Hilang Sepihak
JPKP juga beralasan bahwa HGU Kopperson berakhir sejak 1999 dan tanah otomatis kembali menjadi tanah negara. Pandangan ini terlalu sederhana. Faktanya, status HGU dan segala akibat hukumnya telah menjadi objek sengketa di pengadilan, dan putusan pengadilan sudah memenangkan Kopperson.
Dasar hukum:
Pasal 36 PP No. 40 Tahun 1996: pencabutan/pembatalan HGU harus berdasarkan keputusan Menteri ATR/BPN.
Pasal 53 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan: keputusan tata usaha negara yang cacat hukum (misalnya penerbitan SHM di atas tanah HGU yang masih berlaku atau bersengketa) bisa dibatalkan.
Dengan demikian, penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas tanah yang masih bersengketa adalah cacat hukum dan sewajarnya dibatalkan.
Jangan Bawa “Dua Negara”
Fianus Arung mengingatkan JPKP untuk lebih cermat. “Kalau kita menolak putusan inkracht dengan alasan sosial, sementara mengabaikan dasar hukum, itu sama saja kita sedang membangun ‘dua negara’ dalam satu wilayah hukum. Negara kita hanya satu, dan fondasinya adalah hukum. Jangan cederai itu dengan opini yang tidak berdasar,” pungkasnya.
Negara Wajib Lindungi Rakyat, Tapi Berdasarkan Hukum
Tidak ada yang menolak perlindungan terhadap masyarakat yang sudah puluhan tahun menempati lahan. Tetapi, perlindungan itu harus ditempatkan dalam bingkai hukum, bukan sebaliknya. Jika ada SHM yang diterbitkan di atas tanah HGU yang sah secara hukum, maka SHM tersebut batal demi hukum.
Dasar hukum:
Pasal 24 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997: sertipikat yang terbit di atas tanah yang sudah ada hak lain dapat dibatalkan.
Pasal 18 UUPA: setiap hak atas tanah tunduk pada kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan, tidak boleh menimbulkan sengketa berkepanjangan.
Justru yang perlu digarisbawahi adalah negara tidak boleh membiarkan kekosongan hukum dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk membangun narasi keliru. Jalan terbaik adalah melaksanakan putusan pengadilan sambil membuka ruang solusi keadilan sosial yang sesuai dengan aturan, bukan menentangnya.
Prinsip Hukum Global: Finality of Judgment
Sebagai penguatan, prinsip finality of judgment atau asas res judicata pro veritate habetur (putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap harus dianggap benar) berlaku universal, termasuk dalam praktik hukum di Indonesia.
Prinsip ini juga sejalan dengan asas pacta sunt servanda dalam hukum internasional, yang menegaskan bahwa setiap perjanjian atau keputusan yang sah harus dipatuhi.
Dengan demikian, eksekusi putusan inkracht bukan hanya kewajiban nasional, tetapi juga selaras dengan prinsip-prinsip hukum global tentang kepastian hukum.*