WALHI Ungkap Akar Kerusakan Lingkungan Hidup di Sultra

KENDARIKINI.COM – Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Tenggara (Sultra) mengungkapkan beberapa aspek kerusakan lingkungan dalam kegiatan DISEMINASI LIPUTAN INVESTIGASI KOLABORASI MENYELAMATKAN MENTAWAI DARI KESERAKAHAN “Belajar dari Sipora, Selamatkan Pulau-pulau Kecil di Sultra dari Kejahatan Industri Ekstraktif”, Minggu, 28 September 2025.

Kegiatan ini bertempat di salah satu Coffee shop, Jalan Abunawas, Kelurahan Bende, Kecamatan Kadia, Kota Kendari, Provinsi Sultra.

Sebelum menguraikan beberapa akar kerusakan lingkungan di Sultra, Direktur WALHI Sultra, Andi Rahman, mengungkapkan bahwa ancaman yang dihadapi masyarakat Kepulauan Sipora, Provinsi Sumatera Barat (Prov. Subar) dengan masuknya izin usaha Industri Ekstraktif di Provinsi Sumatera Barat (Prov. Subar) adalah ancaman krisis ekologis dan perampasan sumber mata pencaharian ekonomi masyarakat.

“Pertama kalau dibiarkan izin perusahaan berlangsung aktivitas, maka ada ancaman krisis ekologis dan mata pencarian sumber ekonomi di pulau tersebut. Dan kedua ada pelanggaran Hak Asasi Manusia yang akan mengancam kehidupan warga terutama masyarakat adat di pulau tersebut,” ungkap Direktur WALHI Sultra, Andi Rahman, saat menjadi narasumber dalam kegiatan dimaksud pada hari Minggu, 28 September 2025 di salah satu Coffe shop di Kota Kendari.

Perbedaan yang terjadi di Kepulauan Sipora, Prov. Subar, dan di Sultra, menurut Andi Rahman, baru mau beraktifitas, sementara itu di Sultra sendiri sudah hancur.

Namun ia menjelaskan perbedaan dasar di Kepulauan Sipora, Prov. Subar, baik masyarakat dan pemerintah daerah punya kesadaran natural dampak kedepan masuk izin usaha industri ekstraktif di daerahnya, tapi di Sultra tidak terjadi.

Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di Sultra, menurut Andi Rahman, ada beberapa aspek akar persoalannya, yakni aspek kebijakan pemerintah pusat dan daerah, kerugian sumber mata pencaharian ekonomi masyarakat nelayan, dan ekonomi masyarakat petani.

“Akar persoalannya kami melihat dari aspek kebijakan sebenarnya. Pemerintah tidak melihat secara utuh peraturan yang sudah ada. Namun menurut kami secara substansial sudah bagus aturannya, tinggal prakteknya dijalankan atau tidak,” lanjutnya.

Menurutnya, berdasarkan data indentifikasi WALHI Sultra, sebanyak kurang lebih 651 Pulau-pulau di Sultra, terdapat 68 Pulau yang sudah dihuni masyarakat.

“Data kami di tahun lalu kami indentifikasi Pulau-pulau di Sultra ada sekitar 651 pulau, dan sekitar 68 pulau itu yang sudah berpenghuni termasuk Wawonii, Kabaena, Konawe, Kolaka Utara, selebihnya itu belum,” tegasnya.

Ia menjelaskan berdasarkan data indentifikasi terdapat 68 pulau yang sudah dihuni masyarakat yang sudah ditetapkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh pemerintah pusat dan daerah.

“Ternyata Pulau-pulau yang berpenghuni itu setelah kami indentifikasi sudah dicaplok oleh pemerintah dan diberikan IUP terhadap pelaku-pelaku usaha terutama industri ekstraktif tambang nikel, tapi yang paling seksi dan hangat di Wawonii dan Kabaena, karena Aktor-aktor yang main di situ salah satunya adalah petinggi kita pemerintah dan aparat,” jelasnya.

Selain aspek kebijakan pemerintah pusat dan daerah, menurut Direktur WALHI Sultra, Andi Rahman, terdapat juga aspek kerugian mata pencaharian sumber ekonomi masyarakat di Pulau-pulau yang ada di Sultra.

“Kerusakan lingkungan ekologis pesisir itu memberikan impek kepada pendapatan ekonomi warga yang menggantung hidupnya di laut, kemudian lahan pertaniannya,” pungkasnya.

Untuk diketahui kegiatan ini diinisiasi langsung oleh tim Depati Project serta menghadirkan masing-masing narasumber dari Jurnalis, Akademisi Hukum Pertambangan, dan WALHI Sultra.(Faldi)*

Berita Terkait