Sidang Lapangan Gugatan Lingkungan Rakyat Morosi terhadap PT VDNI dan OSS, WALHI Sultra: Hakim Tak Diperbolehkan Masuk oleh Manajemen Perusahaan

KENDARIKINI.COM — Sidang lapangan dalam perkara gugatan lingkungan hidup terhadap PT Obsidian Stainless Steel (PT OSS) dan PT Virtue Dragon Nickel Industry (PT VDNI) di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, menemui hambatan serius. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kendari yang turun langsung ke lokasi untuk melakukan pemeriksaan setempat justru tidak mendapatkan izin masuk ke dalam kawasan industri PT OSS, tempat sejumlah objek gugatan berada.
Padahal, di dalam area tersebut terdapat tanah dan tambak milik warga yang secara hukum masih sah dan menjadi bagian penting dari objek gugatan yang diajukan WALHI Sulawesi Tenggara bersama masyarakat terdampak.
Petugas keamanan perusahaan menyatakan bahwa tidak ada perintah dari manajemen untuk memberikan akses kepada Majelis Hakim, meskipun sidang lapangan telah ditetapkan secara resmi dalam proses hukum yang tengah berjalan.
“Ini bukan sekadar penghalangan akses fisik. Ini adalah bentuk pengabaian terhadap proses peradilan yang sah dan legal. Ketika tanah dan tambak warga yang menjadi objek sengketa tidak bisa diperiksa oleh hakim, maka transparansi dan keadilan hukum dipertaruhkan,” ujar Andi Rahman, Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Tenggara.
Menurut WALHI, tindakan tidak memberikan akses kepada hakim mencerminkan rendahnya komitmen korporasi terhadap keterbukaan dan akuntabilitas dalam proses hukum, terlebih dalam kasus yang menyangkut keselamatan lingkungan hidup dan hak masyarakat.
Berdasarkan laporan warga dan investigasi WALHI, PLTU batu bara yang dioperasikan oleh PT OSS diduga menyebabkan pencemaran air, udara, dan kerusakan ekologis di sekitar permukiman warga. Gugatan ini berfokus pada dampak langsung dan tidak langsung dari aktivitas industri terhadap kehidupan masyarakat Morosi, termasuk hilangnya akses terhadap lahan produktif dan sumber air bersih.
“Penolakan ini justru memperkuat dugaan bahwa perusahaan berupaya menyembunyikan dampak lingkungan yang terjadi. Ini adalah bentuk nyata dari ketimpangan kekuasaan yang menutup ruang keadilan ekologis bagi warga,” tambah Andi.
WALHI mendesak agar Majelis Hakim mencatat peristiwa ini secara resmi dalam berita acara persidangan dan mendorong pengadilan serta aparat penegak hukum untuk mengambil langkah-langkah lanjutan. Termasuk menegaskan hak-hak warga atas tanah dan tambak yang masih sah secara hukum, meski kini berada dalam klaim sepihak perusahaan.
Sebagai catatan penting, menurut WALHI, penolakan terhadap akses hakim bisa dilihat sebagai bentuk pengabaian terhadap asas due process of law dan prinsip partisipasi dalam pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009.*