Tolak Usaha Perpanjangan Periode Kepala Desa Karena Mengancam Demokrasi dan Menyuburkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Oleh: La Ode Farhan Ketua EW LMND Sultra

Gonjang-ganjing isu dan klaim tentang Presiden yang menyetujui adanya perpanjangan periode jabatan kepala desa dari awalnya 6 tahun menjadi 9 tahun, sebagaimana ungkapan Budiman Sudjatmiko, politikus PDIP, usai dipanggil Presiden pada 17 Januari 2023 menuai banyak kontroversi. Hal ini berawal dari reaksi sekumpulan kepala desa yang melakukan penyampaian aspirasi di depan kantor DPR RI pada 16 Januari 2023 yang lalu dengan tuntutan merevisi pasal 39 Undang Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.

Alasan yang dikemukakan untuk mendukung revisi perpanjangan periodesasi jabatan kepala desa yang telah diatur dalam UU Desa tersebut patut dipertanyakan. Pasalnya, dari semula 6 tahun lama menjabat dan memungkinkan untuk bisa 3 periode (total 18 tahun) kemudian akan direvisi menjadi 9 tahun tiap periode dengan alasan bahwa 6 tahun tidak cukup waktu untuk membangun desa akibat 2 sampai 3 tahun energi dan waktu dihabiskan untuk menyelesaikan polarisasi masyarakat pasca pemilihan kepala desa (pilkades) adalah alasan yang tidak logis.

Bahwa masalah polarisasi sosial di desa pasca pemilihan kepala desa yang dijadikan alasan untuk perpanjangan itu mengada-ada dan telah membuka tabir ketidak mampuan elit desa mengelola pemerintahannya. Lebih jauh dari itu, harusnya praktek pembelahan sosial dan politik transaksional (money politic) selama masa pilkades harus dibendung mulai dari motif dan komitmen calon kepala desa yang telah tergiur dengan besarnya anggaran desa. Jika logika itu yang digunakan, bagaimana dengan polarisasi sosial residu pilpres/pilkada yang juga masih ada? Jika desa secara cakupan lebih kecil menggunakan alasan tersebut, bagaimana dengan menyelesaikan polarisasi sosial pada tingkatan pasca pilkada dan pilpres, haruskah diperpanjang periodenya?

Secara substansial, rencana perpanjangan periode tersebut berpotensi merusak demokrasi. Membatasi kekuasaan – termasuk periode jabatan – dan mengontrol kekuasaan dengan demokrasi partisipatif harus dijalankan sebagaimana semangat dan amanat UU Desa.  Lagi pula, dukungan ini hanya bersumber dari elit lokal/desa, bahkan partai politik tertentu, politikus, dan menjelang pemilu 2024. bukan dari partisipasi rakyat desa. Kecurigaan ini juga mengingat: belakangan pernah ada kumpulan kepala desa yang merencanakan deklarasi 3 periode Presiden. Logika yang mirip dan serupa untuk mengembalikan otoritarianisme, kekuasaan absolut dan anti demokrasi.

Di sisi lain, dengan besarnya anggaran Dana Desa yang dikelola, 6 tahun adalah waktu yang seharusnya diefektifkan untuk pembangunan desa untuk kesejahteraan warga desa telah cukup. Namun, KPK mencatatkan ada 686 kepala desa terjerat kasus korupsi anggaran desa sepanjang tahun 2012-2021. Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mencatat sejak 2015 ketika program dana desa dimulai, jumlah korupsi di sektor dana desa meningkat. Setidaknya, menurut ICW, di tahun 2021 ada 154 kasus korupsi anggaran desa. Dengan fakta tersebut, pilihan memperpanjang periode jabatan kades akan menyuburkan praktek korupsi, alih-alih mengusahakan desa yang berdaya, kuat, maju, mandiri dan demokratis.

Oleh karena itu, seharusnya UU Desa dijalankan sebagaimana mestinya dengan menguatkan partisipasi rakyat, memaksimalkan fungsi pendampingan, pemberdayaan masyarakat, serta reorientasi pengelolaan anggaran desa kepada kebutuhan yang paling objektif di tiap-tiap desa.

Dengan demikian, kami Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dengan tegas menolak revisi UU Desa, khususnya pasal 39 yang mengatur masa jabatan Kepala Desa yang akan merusak demokrasi partisipatif Desa dan akan menyuburkan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).***



Kendari Kini bisa diakses melalui saluran Google News atau Google Berita pada link ini.

👇

Saluran Google News Kendarikini.com



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait