WALHI Sultra Sebut Aktivitas PT Timah dan PT Trias Ancam Kehidupan Masyarakat Kabaena

KENDARIKINI.COM – Aktivitas pertambangan yang masif di Kecamatan Kabaena Barat, khususnya di wilayah pesisir Desa Baliara, telah mengancam kehidupan masyarakat secara langsung.

Sejak beroperasinya dua perusahaan tambang nikel PT Timah Investasi Mineral dan PT Trias Jaya Agung warga mengalami penurunan drastis dalam kualitas lingkungan, ekonomi, dan kesehatan.

Desa Baliara dikenal sebagai wilayah pesisir yang menggantungkan hidup dari laut. Sebagian besar dari sekitar 300 kepala keluarga di desa tersebut bekerja sebagai nelayan dan petani rumput laut. Dahulu, dalam satu kali melaut dari pukul 06.00 pagi hingga 12.00 siang, penghasilan nelayan bisa mencapai Rp700.000. Hasil tangkapan mereka bahkan dipasok hingga ke Makassar, menjadi bagian penting dalam rantai pasokan laut nasional.

Namun, sejak tambang nikel mulai beroperasi, air laut berubah menjadi keruh dan tercemar. Kini, meski melaut sejak subuh hingga malam, penghasilan nelayan hanya sekitar Rp200.000. Budidaya rumput laut dan keramba ikan juga terdampak. Banyak rumput laut gagal tumbuh, dan ikan-ikan dalam keramba mati. Warga bahkan mengaku takut mengonsumsi hasil laut sendiri karena khawatir tercemar limbah ore nikel.

Dampak lingkungan ini juga membawa risiko kesehatan. Air laut yang dulunya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kini menimbulkan keluhan seperti gatal-gatal setelah kontak langsung. Fenomena ini menunjukkan adanya pencemaran yang serius dan berpotensi membahayakan keselamatan manusia.

Kondisi semakin memprihatinkan dengan meningkatnya frekuensi banjir yang terjadi sejak aktivitas tambang berlangsung. Tak hanya itu, pada periode 2018 hingga 2025, seorang balita dilaporkan tenggelam dan sempat hilang di laut yang telah tercemar dan keruh tersebut—menjadi bukti tragis dari hilangnya rasa aman warga terhadap lingkungan sekitar mereka.

“Kami tidak anti tambang, tapi kami ingin kehidupan yang adil,” tegas salah satu warga.

Masyarakat Desa Baliara menyatakan bahwa mereka tidak menolak pembangunan. Namun, mereka menuntut agar pertambangan dilakukan dengan memperhatikan keselamatan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Mereka hanya ingin laut yang selama ini memberi hidup bisa kembali sehat dan hak atas lingkungan yang bersih serta aman bisa kembali dipenuhi.

Ibu Rahma, warga pesisir Desa Baliara, menyampaikan kesedihannya “Kami dulu bisa hidup cukup hanya dari laut. Sekarang, laut bukan lagi tempat mencari rezeki, tapi sumber kecemasan. Anak-anak kami tidak lagi aman bermain di pantai. Ikan tak lagi bisa dikonsumsi. Kami hanya ingin hidup yang layak, bukan kemewahan,”.

Direktur WALHI Sulawesi Tenggara, dalam pernyataannya, mengecam lemahnya pengawasan pemerintah terhadap operasi tambang yang merusak lingkungan.

“Apa yang terjadi di Desa Baliara adalah bentuk nyata dari abainya negara terhadap hak hidup masyarakat pesisir. Tambang nikel tidak hanya merusak ekosistem, tapi merampas ruang hidup. Pemerintah wajib hadir—bukan sekadar sebagai pengatur, tapi pelindung warganya.”

Masyarakat Desa Baliara menyerukan perhatian serius dari pemerintah pusat dan daerah, aparat penegak hukum, serta seluruh pemangku kepentingan. Evaluasi menyeluruh dan tindakan nyata terhadap operasi tambang yang merusak ini menjadi kebutuhan mendesak. Jangan biarkan mereka yang paling dekat dengan sumber daya, justru menjadi korban dari eksploitasi yang tidak berkeadilan.*



Kendari Kini bisa diakses melalui saluran Google News atau Google Berita pada link ini.

👇

Saluran Google News Kendarikini.com



Berita Terkait