Survei antara Pesanan dan Realitas Politik
Oleh: Andi Awaluddin Maruf Pemerhati Demokrasi dan Politik lokal Sultra Dosen fisip UM Kendari. Founder Indeks Insan Politiea (IIP)
Dalam panggung politik Indonesia, survei telah menjadi instrumen yang tak terpisahkan dari dinamika pemilihan umum. Namun, seiring berjalannya waktu, kredibilitas dan objektivitas lembaga survei semakin dipertanyakan. Kasus terbaru di Sulawesi Tenggara menjadi contoh nyata bagaimana survei dapat menjadi alat manipulasi opini publik.
Terkait Pilgub Sultra 2024. Hasil-hasil survei tersebut menunjukkan variasi yang mencolok, diantaranya survei yang dirilis oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA. LSI menempatkan Andi Sumangerukka di puncak dengan elektabilitas 36,3%, sementara Tina Nur Alam hanya memperoleh 24,5%.
Kontras dengan temuan LSI, survei dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dilakukan pada 18-30 Juli justru menempatkan Tina Nur Alam di posisi pertama dengan 33% elektabilitas, unggul 4,6% dari Andi Sumangerukka yang berada di angka 28,4%. Hasil yang hampir serupa juga ditemukan oleh Jaringan Suara Indonesia (JSI) pada 9-17 Juli, di mana Tina Nur Alam unggul dengan 39,3% sementara Andi Sumangerukka hanya meraih 33,6%.
Menambah kompleksitas situasi, The Haluoleo Institute (THI) merilis hasil survei terbaru pada 25 September 2024. Survei THI menunjukkan hasil yang berbeda lagi, menempatkan pasangan Lukman Abunawas-Laode Ida di posisi teratas dengan elektabilitas 33,8%. Disusul oleh Andi Sumangerukka-Hugua (25,7%), Tina Nur Alam-LM Ihsan Taufik Ridwan (20,3%), dan Ruksamin-LM Sjafei Kahar (7,3%). Walaupun dalam konteks waktu Survei yang berbeda dan adanya kecenderungan Trend data yang berpotensi sangat dinamis bisa berubah sesuai perkembangan kondisi lapangan saat ini.
Perbedaan hasil yang signifikan ini menimbulkan tanda tanya besar di benak masyarakat: manakah yang mencerminkan realitas politik sebenarnya? Fenomena ini menyoroti urgensi keberadaan lembaga survei yang kredibel dan profesional. Survei politik bukan sekadar angka-angka yang dipublikasikan, melainkan cerminan aspirasi masyarakat yang seharusnya menjadi panduan bagi para pemangku kepentingan dalam mengambil keputusan.
Integritas lembaga survei menjadi kunci utama dalam membangun kepercayaan publik. Metode penelitian yang terstandarisasi dan kompetensi para peneliti harus menjadi landasan setiap survei yang dilakukan. Transparansi dalam proses pengumpulan dan analisis data, serta kejelasan mengenai siapa yang menjadi sponsor survei, adalah hal-hal yang tidak bisa ditawar. Tanpa adanya integritas, survei hanya akan menjadi alat propaganda yang mengerdilkan esensi demokrasi.
Permasalahan menjadi semakin kompleks ketika beberapa lembaga survei juga berperan sebagai konsultan pemenangan kandidat. Dualisme peran ini menciptakan konflik kepentingan yang sulit dihindari. Bagaimana mungkin sebuah lembaga dapat mengklaim objektivitas ketika mereka memiliki kepentingan langsung terhadap hasil survei yang mereka publikasikan? Situasi ini menciptakan dilema etis yang mengancam kredibilitas industri survei secara keseluruhan.
Untuk memahami problematika ini lebih dalam, penting untuk mengetahui cara kerja lembaga survei. Secara umum, proses survei politik melibatkan beberapa tahapan kritis. Dimulai dengan penentuan metodologi dan desain sampel yang representatif, dilanjutkan dengan pengumpulan data melalui wawancara atau kuesioner, kemudian analisis data menggunakan metode statistik, hingga akhirnya interpretasi hasil dan penyusunan laporan.
Dalam konteks ilmu politik, survei seharusnya menjadi alat untuk memahami preferensi dan perilaku pemilih. Hasil survei dapat membantu kandidat dalam menyusun strategi kampanye yang lebih efektif dan membantu pemilih dalam membuat keputusan yang lebih informedin dalam situasi ideal, survei berfungsi sebagai jembatan antara aspirasi masyarakat dan kebijakan politik.
Namun, realitas politik Indonesia menunjukkan bahwa survei seringkali menjadi alat untuk membentuk opini publik daripada merefleksikannya. Fenomena “bandwagon effect” di mana pemilih cenderung memilih kandidat yang dipersepsikan lebih populer, menjadikan hasil survei sebagai senjata ampuh dalam perang psikologis politik.
Untuk mengembalikan fungsi survei pada jalurnya, diperlukan regulasi yang lebih ketat terhadap lembaga survei. Standarisasi metodologi, audit independen terhadap proses survei, dan sanksi bagi lembaga yang terbukti memanipulasi data adalah beberapa langkah yang bisa diambil. Selain itu, edukasi politik kepada masyarakat juga krusial agar mereka mampu bersikap kritis terhadap hasil survei yang beredar.
Pada akhirnya, survei politik harus kembali pada tujuan awalnya: sebagai instrumen demokrasi yang memfasilitasi partisipasi publik dalam proses politik. Hanya dengan integritas, profesionalisme, dan komitmen terhadap kebenaran, lembaga survei dapat memainkan perannya secara optimal dalam mewujudkan demokrasi yang sehat dan bermartabat di Indonesia.*