Opini: Dari Retorika ke Realita, Tantangan Sektor Ekstraktif dalam Mewujudkan Keberlanjutan di Sultra
Oleh: Kisran Makati (Direktur Puspaham Sultra)

Sulawesi Tenggara saat ini berada di garis depan ekspansi sektor ekstraktif nasional. Dengan cadangan nikel yang terbesar di Indonesia dan dunia, wilayah ini menjadi salah satu episentrum investasi dalam skema hilirisasi nasional maupun globalisasi komoditas.
Sektor tambang dan sawit telah berkontribusi terhadap peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulawesi Tenggara. Namun, di balik angka-angka makroekonomi tersebut, muncul konsekuensi serius: kerusakan lingkungan, konflik agraria, marginalisasi masyarakat lokal, serta ketimpangan distribusi manfaat ekonomi.
Alih-alih memperkuat kesejahteraan berkelanjutan, banyak wilayah di Sulawesi Tenggara justru mengalami degradasi lingkungan yang memperparah kerentanan terhadap bencana seperti banjir, kekeringan, dan hilangnya mata pencaharian tradisional.
Dalam konteks ini, pembangunan sektor ekstraktif memerlukan pendekatan baru: kebijakan yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek, tetapi juga menjaga keberlanjutan sosial-ekologis dalam jangka panjang.
Ke depan, tanpa intervensi kebijakan yang adil dan berkelanjutan, Sulawesi Tenggara berisiko menjadi korban dari apa yang disebut kutukan sumber daya (resource curse): kaya sumber daya alam, tetapi miskin dalam kualitas hidup rakyatnya.
Tantangan Efisiensi dan Akuntabilitas Pelaku Ekstraktif
Sulawesi Tenggara (Sultra) tengah berada di persimpangan jalan yang menentukan masa depannya. Seiring dengan berkembangnya industri ekstraktif, seperti pertambangan dan Perkebunan kelapa sawit, kita harus mengingat bahwa pembangunan yang sesungguhnya harus menciptakan keseimbangan: antara pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, kesejahteraan masyarakat, dan kelestarian lingkungan. Pemerintah daerah, di bawah kepemimpinan Gubernur Sulawesi Tenggara Andi Sumangerukka, telah menunjukkan komitmen untuk mendorong efisiensi anggaran dan memastikan bahwa para pengusaha tambang memenuhi kewajiban mereka.
Namun, tantangan besar yang dihadapi adalah bagaimana mewujudkan komitmen tersebut dalam praktik yang nyata.
Gubernur Andi Sumangerukka menekankan pentingnya efisiensi anggaran dalam penggunaan dana publik. Namun, efisiensi anggaran tidak hanya berarti pengurangan belanja semata atau sekedar tidak membangun proyek mercusuar. Efisiensi yang dimaksud harus lebih substansial, yaitu pengalokasian dana yang tepat untuk sektor-sektor yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat. Dalam konteks Sultra, prioritas harus diberikan kepada pembangunan infrastruktur yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat, seperti perbaikan jalan di desa-desa terdampak tambang, penguatan layanan kesehatan, pendidikan, serta program-program yang mendukung ketahanan ekonomi lokal.
Namun, saat ini alokasi anggaran seringkali lebih fokus pada pembangunan yang mendukung industri ekstraktif, sementara kebutuhan dasar masyarakat yang terdampak langsung oleh pertambangan seringkali kurang mendapatkan perhatian yang memadai.
Ketimpangan ini perlu segera diatasi. Tanpa adanya pergeseran prioritas yang jelas, ada risiko bahwa efisiensi anggaran justru dapat memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi di Sulawesi Tenggara.
Pemerintah daerah harus berpihak pada pembangunan yang berkelanjutan dan memberi manfaat kepada masyarakat. Ini berarti prioritas anggaran harus lebih fokus pada sektor-sektor yang memperbaiki kualitas hidup rakyat, seperti pertanian berkelanjutan, pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana, serta pelayanan publik yang memadai.
Selain efisiensi anggaran, pemerintah daerah juga perlu memperkuat akuntabilitas pengusaha tambang yang beroperasi di Sultra. Meskipun Gubernur Andi Sumangerukka telah berkomitmen untuk memastikan para pengusaha tambang memenuhi kewajiban mereka, kenyataannya, tantangan terbesar adalah lemahnya penegakan hukum dan pengawasan terhadap industri ekstraktif.
Penting untuk diingat bahwa pengusaha tambang, sawit dan lainnya tidak hanya berperan sebagai investor yang mencari keuntungan, tetapi juga sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab sosial, ekologis, dan finansial terhadap masyarakat dan daerah. Pengusaha tambang harus memenuhi kewajiban mereka terhadap daerah, baik itu berupa kontribusi perpajakan, pembayaran royalti, tanggung jawab sosial yang lebih luas, serta kewajiban pasca-tambang seperti reklamasi lahan.
Pemulihan lingkungan dan rehabilitasi lahan pasca-tambang adalah bagian dari tanggung jawab ekologis yang tidak bisa diabaikan. Ini semua merupakan bagian dari keadilan sosial yang harus ditegakkan.
Namun, tanpa adanya mekanisme pengawasan yang efektif, komitmen untuk memastikan akuntabilitas bisa menjadi sekadar wacana kosong. Untuk itu, langkah-langkah strategis perlu diambil, seperti:
1) Penegakan Sanksi Tegas: Pemerintah harus menegakkan sanksi administratif, perdata, dan pidana terhadap pengusaha tambang yang tidak memenuhi kewajibannya. Sanksi ini harus dijalankan dengan konsisten dan tanpa pandang bulu.
2) Transparansi dalam Pengelolaan Kontrak Tambang: Pemerintah harus mempublikasikan kontrak tambang yang ada, serta mewajibkan perusahaan untuk melakukan pelaporan berkala mengenai kewajiban yang telah mereka penuhi. Ini untuk memastikan bahwa tidak ada yang tertutup dari publik.
3) Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan: Pengawasan terhadap aktivitas tambang harus melibatkan masyarakat lokal. Masyarakat berhak untuk mengetahui dan mengawasi setiap kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan tambang di sekitar mereka. Partisipasi masyarakat dapat meningkatkan transparansi dan memastikan bahwa kepentingan rakyat terlindungi.
Untuk mewujudkan pembangunan yang adil dan berkelanjutan, Sulawesi Tenggara harus memperkuat dua hal yang saling terkait: efisiensi anggaran dan akuntabilitas pengusaha tambang. Pemerintah daerah harus memastikan bahwa anggaran publik digunakan untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk memperkaya segelintir pihak atau mendukung sektor yang merusak lingkungan dan mengabaikan hak-hak masyarakat. Di sisi lain, pengusaha tambang harus diminta untuk menunaikan kewajiban mereka dan bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas mereka terhadap masyarakat dan lingkungan.
Revisi RTRW dan Integrasi Prinsip ESG
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara sedang merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), yang merupakan kesempatan strategis untuk memperbaiki tata kelola ruang dan mengoreksi distorsi yang selama ini mendukung ekspansi sektor ekstraktif tanpa kontrol yang memadai. Revisi ini harus memastikan bahwa pembangunan tidak hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi jangka pendek, tetapi juga keberlanjutan lingkungan dan sosial.
Integrasi prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam revisi RTRW harus dilakukan secara substansial, bukan sekadar sebagai jargon. Beberapa prinsip kunci yang perlu diadopsi antara lain:
Pertama, Perlindungan Kawasan Lindung; Kawasan ekosistem esensial, genting dan penting, termasuk pesisir dan pulau kecil, harus dilindungi dari ekspansi industri ekstraktif. Kawasan ini sangat rentan terhadap kerusakan akibat penambangan dan perubahan iklim, sehingga perlu pembatasan konsesi industri dan kebijakan yang mengutamakan pelestarian lingkungan.
Kedua, Kerentanan Bencana dan Keamanan Lahan Pangan harus diperhatikan terkait kerentanannya terhadap bencana alam akibat perubahan iklim. Revisi RTRW harus menghindari konversi lahan yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap bencana, serta melindungi lahan pertanian untuk menjaga ketahanan pangan daerah.
Ketiga, Evaluasi Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Revisi RTRW perlu mengevaluasi daya dukung dan daya tampung lingkungan untuk memastikan bahwa izin pemanfaatan ruang diberikan hanya jika wilayah tersebut memiliki kapasitas yang cukup untuk mendukung kegiatan tanpa merusak ekosistem dan kualitas hidup masyarakat.
Keempat, Hak atas Ruang bagi Masyarakat Lokal dan Adat Pengakuan terhadap hak masyarakat lokal dan adat atas ruang dan sumber daya alam harus menjadi bagian integral dalam revisi RTRW. Pemerintah harus melindungi wilayah kelola rakyat dan memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam perencanaan tata ruang.
Dan Kelima, Kewajiban Due Diligence Sosial dan Lingkungan untuk Bisnis Pemerintah harus menetapkan kewajiban due diligence sosial dan lingkungan yang ketat bagi bisnis, terutama yang berhubungan dengan eksploitasi sumber daya alam. Penilaian dampak sosial dan lingkungan harus dilakukan sebelum pemberian izin usaha untuk memastikan tidak ada kerusakan ekosistem atau pelanggaran hak-hak masyarakat.
Tanpa integrasi prinsip ESG dalam revisi RTRW, Sulawesi Tenggara berisiko terjebak dalam pembangunan yang mengorbankan kepentingan jangka panjang demi keuntungan sesaat. Revisi RTRW harus menjadi alat untuk mewujudkan pembangunan yang berkeadilan, berkelanjutan, dan melibatkan semua pihak dalam menciptakan tata kelola ruang yang adil dan responsif terhadap tantangan masa depan.
Membangun Masa Depan yang Adil dan Berkelanjutan
Sulawesi Tenggara kini dihadapkan pada pilihan bersejarah yang tidak hanya menentukan arah masa depan daerah ini, tetapi juga masa depan masyarakat dan ekosistem yang telah lama bergantung pada sumber daya alam yang melimpah. Kita harus memilih antara terus terjebak dalam model pembangunan eksploitatif yang hanya menguntungkan segelintir pihak, atau berani mengubah arah menuju masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Pembangunan yang berkelanjutan bukan sekadar mimpi; ia adalah kewajiban moral yang harus diwujudkan. Di tengah tantangan besar yang ditimbulkan oleh sektor ekstraktif, kita membutuhkan paradigma pembangunan yang baru—sebuah paradigma yang menempatkan kesejahteraan manusia dan keberlanjutan lingkungan sebagai pusat kebijakan. Tidak bisa lagi kita mengorbankan kualitas hidup dan lingkungan demi pertumbuhan ekonomi yang semu, yang hanya menambah kesenjangan sosial dan kerusakan ekologis.
Ada beberapa langkah penting yang perlu ditempuh untuk mewujudkan perubahan besar ini.
Pertama, kita harus mendorong diversifikasi ekonomi lokal yang lebih berkelanjutan dan terdesentralisasi, jauh dari ketergantungan pada sektor ekstraktif yang tidak ramah lingkungan. Ini berarti memberikan perhatian pada sektor-sektor yang lebih ramah lingkungan dan sosial, seperti pertanian berkelanjutan, pariwisata ekologis, dan industri kreatif lokal yang memanfaatkan potensi budaya dan keanekaragaman alam.
Kedua, kita harus menguatkan hak masyarakat atas tanah dan sumber daya alam mereka. Dalam banyak kasus, masyarakat lokal sering kali menjadi korban dari praktik-praktik perampasan lahan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Pengakuan dan perlindungan hak-hak atas tanah ini bukan hanya hal yang adil, tetapi juga kunci untuk menciptakan ketahanan sosial-ekologis yang kokoh di tengah ancaman perubahan iklim dan pergeseran ekonomi.
Ketiga, pembangunan infrastruktur sosial dan ekologis harus menjadi prioritas utama. Infrastruktur yang dimaksud tidak hanya mencakup jalan, jembatan, atau fasilitas umum, tetapi juga sistem yang memperkuat ketahanan komunitas terhadap perubahan iklim dan krisis ekonomi. Ini bisa berupa pengelolaan sumber daya alam yang berbasis pada prinsip keberlanjutan, pendidikan yang menumbuhkan kesadaran lingkungan, serta akses kepada layanan kesehatan dan sosial yang merata.
Keempat, kita perlu mengembangkan model tata kelola kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Tata kelola yang transparan, partisipatif, dan berbasis pada keadilan sosial-ekologis akan memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil tidak hanya menguntungkan sebagian pihak, tetapi juga mempertimbangkan dampak terhadap masyarakat dan lingkungan.
Prinsip-prinsip keadilan ini harus mengalir dalam setiap kebijakan dan aksi pemerintah, serta terintegrasi dalam setiap rencana pembangunan.
Namun, perubahan ini tidak akan terjadi dengan sendirinya. Dibutuhkan keberanian politik dari para pemimpin daerah, ketekunan birokrasi dalam menegakkan aturan dan kebijakan, serta dukungan yang kuat dari masyarakat sipil. Tanpa komitmen yang tegas dan kolaborasi yang erat antara semua pihak, upaya ini akan sia-sia.
Sekarang adalah waktu yang tepat bagi Gubernur Sulawesi Tenggara untuk membuktikan bahwa keberlanjutan bukan hanya sekadar retorika dalam pidato, tetapi merupakan kenyataan dalam setiap kebijakan dan tindakan yang diambil.
Masa depan Sulawesi Tenggara tidak akan ditentukan oleh seberapa banyak investasi yang masuk, tetapi oleh seberapa adil, lestari, dan bermartabat pembangunan tersebut dijalankan untuk kesejahteraan generasi kini dan mendatang.*