Opini: Pengarusutamaan Perpustakaan dalam Pembangunan Ekonomi Hijau “Green Library”

Oleh: Hj. Arniaty DK, SP., M.Si (Kabid Pengembangan Perpustakaan dan Pembudayaan Minat Baca Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Kendari)

Geliat wacana dan praksis ekonomi hijau (green economy) secara global terus menggema. Konsep ekonomi hijau dimaksudkan menciptakan keseimbangan baru—memastikan kegiatan atau pertumbuhan ekonomi tidak merusak lingkungan. Pelestarian lingkungan tidak bisa ditunda mengingat beban bumi semakin berat akibat dampak perubahan iklim. Hari esok bisa saja bumi tak dapat dihuni lagi sebagaimana diingatkan oleh David Wallace –Wels.

Indonesia sendiri mencoba mengadopsi konsep ekonomi hijau kedalam berbagai sektor termasuk literasi. Perpustakaan sebagai bagian ruang literasi bisa dan dituntut memainkan peran penting dalam pengembangan literasi ekonomi hijau.
Realitasnya memang konsep perpustakaan hijau belum banyak diterapkan
di Indonesia, termasuk oleh perpustakaan di perguruan tinggi atau yang sederajat.

Lantas, bagaimana mengarusutamakan perpustakaan dalam pembangunan ekonomi hijau?

Disadari Perpustakaan sangat dibutuhkan dan bisa memainkan peran penting dalam mendukung ekonomi hijau yang telah dicanangkan pemerintah dan atau menambal kebijakan yang masih belum prudent ataupun program yang sedang berjalan disemua level.

Sebagai sebuah konsep yang menekankan keberlanjutan lingkungan, efisiensi sumber daya dan kesejahteraan sosial, maka hal paling utama mesti dilihat kembali adalah sejauh mana tata kelola perpustakaan di Indonesia menempatkan isu ekonomi hijau sebagai mainstream utama gerakan literasi. Dalam kalimat lain, sudahkah paradigma ekonomi nasional didasarkan pada aspek infklusifitas dan berkelanjutan (ekonomi, sosial dan lingkungan). Kemudian saling keterhubungan antar keduanya dapat dilihat dalam tiga (3) hal.

Pertama, kuantitas edukasi dan penyebaran informasi seperti perpustakaan menyediakan akses ke sumber informasi tentang konsep ekonomi hijau, keberlanjutan dan praktik ramah lingkungan. Bentuknya bisa buku, jurnal, dan materi digital. Kemudian perpustakaan dapat mengadakan program misalnya pentingnya ekonomi hijau dalam praksis pelatihan pengelolaan sampah, konservasi energy dan pertanian organik. Outputnya diharapkan tercipta peningkatan kesadaran disemua level pemerintahan dan lapisan sosial masyarakat.

Kedua, pengurangan jejak karbon dapat dikerjakan misalnya dengan menyediakan materi digital, perpustakaan membantu mengurangi penggunaan kertas, transportasi fisik buku dan energi yang diperlukan untuk mencetak atau memproduksi sumber daya cetak.

Dan paling dinantikan adalah desain perpustakaan baru harus memastikan ramah lingkungan–bangunan hemat energi dengan menggunakan pencahayaan alami, sistem ventilasi efisien dan energi terbarukan.
Ketiga, mendukung inovasi lokal artinya perpustakaan wajib menyediakan akses ke informasi guna membantu individu dan komunitas menciptakan solusi hijau sebagai contoh pengelolaan limbah yang bisa menjadi energi terbarukan. Bisa juga menggalang kolaborasi dengan masyarakat untuk membangun proyek-proyek berbasis keberlanjutan.

Sebagai informasi, di beberapa negara perpustakaan sudah menerapkan program berorientasi ekonomi hijau. Dengan memanfaatkan energi terbarukan untuk operasional, seperti solar panel.

Program literasi hijau dengan mengajarkan praktik keberlanjutan kepada anak-anak dan orang dewasa.
Dengan menjadi katalisator perubahan, perpustakaan kita bisa menjadi lokomotif ekonomi sirkular. Perpustakaan harus berfungsi sebagai pusat pertukaran buku dan sumber daya, yang sejalan dengan prinsip ekonomi sirkular yaitu meminimalkan limbah dan memaksimalkan kembali penggunaannya.

Ini mungkin sedikit klise bahkan asalan klasik, bahwa secara institusi, para pihak terkait baik langsung maupun tidak, akan mendengungkan keterbatasan anggaran (pendanaan) untuk menjalankan kegiatan visioner tersebut. Mengelola dana untuk mengadopsi atau melakukan digitalisasi koleksi bacaan dan gedung ramah lingkungan memang masih menjadi pekerjaan rumah terbesar.
Selanjutnya, dukungan publik juga masih rendah karena pemahaman masyarakat tentang mendesaknya penerapan ekonomi hijau dan bagaimana peran perpustakaan di dalamnya masih minim sekali. Terlihat dari diskursus publik diberbagai platform media. Termasuk kurangnya kemitraan strategis.

Kemudian, regulasi dan kebijakan. Secara administratif regulasi dan kebijakan belum sepenuhnya mendukung objek ini mengingat sektor lain yang sudah berjalan 5-10 tahun terutama di sektor energi belum maksimal. Dan masih banyak isu dan tantangan lain.
Pada akhirnya, kita berharap dengan kesadaran penuh dan pperencanaan yang matang dan keterlibatan berbagai stakeholder, perpustakaan dapat menjadi agen perubahan dalam mewujudkan ekonomi hijau di masa akan datang. Semoga!!?.*



Kendari Kini bisa diakses melalui saluran Google News atau Google Berita pada link ini.

👇

Saluran Google News Kendarikini.com



Berita Terkait