Wujudkan Paradigma Baru Pemidanaan Indonesia, Menkumham Yassona Laoly Gelar Simposium Nasional
Jakarta – Dalam rangka mewujudkan paradigma baru Pemidanaan di Indonesia, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yassona H. Laoly menggelar simposium nasional.
Kegiatan yang dirangkaikan dengan hari Bhakti Pemasyarakatan ke 59 Tahun tersebut turut dihadiri Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA, Anggota Komisi III DPR RI Bapak Arsul Sani, SH,
M.Si, LL.D, Wakil Menteri Kementerian Hukum dan HAM Prof. Dr. Edward Hiariej, S.H., M.Hum, Pimpinan Tinggi di Lingkungan Kementerian Hukum dan HAM, Para senior dan Forum Pemerhati
Pemasyarakatan, Perwakilan dari Civil Society Organization, Perwakilan Dosen dan Mahasiswa dari beberapa Universitas, Seluruh Jajaran Pemasyarakatan, dan seluruh peserta Simposium Nasional yang hadir secara langsung maupun virtual.
Yassona H Laoly saat membawakan sambutannya mengatakan bahwa agenda penting dan strategis sebagai anak bangsa, yang dikemas dalam sebuah Simposium Nasional Pemasyarakatan dengan tema “Menuju Paradigma Baru Pemidanaan Indonesia”.
“Saya ingin menyampaikan bahwa, saya gunakan terminologi “bangsa” karena saya ingin ini bukan hanya menjadi perhatian sebagian kelompok atau golongan saja.
Tetapi saya ingin, ini kita gulirkan menjadi sebuah kesadaran nasional, dan kita sebagai bangsa bersama-sama memikirkan cara untuk menuju cakrawala tersebut. Sila ke-5 dari Pancasila adalah “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Keadilan sosial
adalah sebuah posisi mutlak dan tidak dapat ditawar lagi untuk keberlangsungan negara ini. Ketika keadilan sosial bukan lagi menjadi concern, maka setiap anak bangsa dengan segala macam daya dan
upaya pasti akan berusaha mengembalikan laju gerbong negara ke dalam rel yang seharusnya,” jelasnya.
Ia melanjutkan bahwa sebetulnya yang sedang terjadi pada pagi
hari ini, pada Simposium Nasional ini. Sebuah pergerakan anak bangsa yang sedang memiliki keresahan yang sama dalam bidang penegakan hukum. Yaitu mengawal shifting paradigm terhadap
mekanisme formal penyelesaian pelanggaran hukum (sistem peradilan pidana) sehingga apa yang menjadi mandate, apa yang menjadi cita-cita, tujuan mulia dari disahkanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 terjadi dan sesuai.
“Pemidanaan seharusnya menjadi sarana atau alat kontrol sosial yang mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai, 1. alat pencegah kejahatan (punishment as a means of crime prevention), 2. alat untuk mempertahankan moral orang-
orang yang patuh (punishment as a means of sustaining the morale of conformists), dan 3. alat untuk mereformasi pelaku kejahatan (punishment as a means of reforming theoffender),” ungkapnya.
Ia menuturkan bahwa selama ini sistem formal pemidanaan hanya menekankan pada 2 (dua) poin pertama dan cenderung mengabaikan pada poin terakhir. Padahal poin terakhir adalah simpul dari pencegahan kejahatan yang sebenarnya, yaitu mengedepankan prinsip-prinsip perbaikan pelanggar hukum guna
mereduksi unsur-unsur kejahatan daripada sekedar menjauhkan mereka dari masyarakat dengan cara mencabut kemerdekaan sementara.
“Jika kita throwback ke beberapa dekade
sebelum ini, founding fathers kita telah menahbiskan Pemasyarakatan sebagai upaya pemulihan kesatuan hidup, kehidupan, dan penghidupan sehingga diharapkan dapat mengintegrasikan kembali para
pelanggar hukum kedalam masyarakat dan ikut serta dalam pembangunan negara secara aktif, serta diharapkan dapat menanamkan kembali nilai-nilai
nasionalisme sehingga menimbulkan rasa turut bertanggung jawab para pelanggar hukum dalam usaha bersama membangun bangsa,” bebernya.
ia juga mengungkapkan bahwa pada masa sebelum ini peradilan pidana cenderung sangat prison-oriented. Setiap pelanggaran pidana selalu berujung pada
pemenjaraan.
“Konsepsi penjara sebagai ultimu remidium (upaya terakhir) bergeser menjadi premium remidium (upaya utama) dan tentunya dapat ditebak hasil akhirnya adalah penjara menghadapi masalah laten yang bernama
overcrowded. Ini harus menjadi wake up call bagi setiap lini, karena berdasarkan data terakhir tingkat hunian di Lapas/Rutan mencapai 265.707 orang. Sedangkan kapasitas yang tersedia hanya 137.031 orang. Bayangkan saja kondisi overcrowded sebanyak 94 % yang dihadapi oleh jajaran Pemasyarakatan tersebut
pastinya tidak jauh dari suasana psikologis penghuni yang tidak sehat, pelanggaran hak asasi manusia, kegagalan untuk menjamin penghuni dalam kondisi
aman dan manusiawi, sehingga sangat mudah terjadi konflik (kerusuhan, perkelahian, pemberontakan,” ungkapnya.
Pihaknya juga menuturkan bahwa dalam
konstitusi kita pada Pasal 28 D Ayat 1
mengamanatkan “setiap orang berhak atas
pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum.
”Dan secara tegas dalam Konvensi internasional dan regional tentang HAM melarang hukuman dan perlakuan yang tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan, serta mengharuskan bahwa semua orang yang dirampas kemerdekaannya diperlakukan dengan menghormati martabat pribadi manusia yang melekat. Ironis tapi realistis, sistem peradilan pidana
dalam konteks ini gagal menjadi adil atau setidaknya menghadirkan keadilan,”.
“Saudara sebangsa dan setanah air,
Melalui Undang-Undang Pemasyarakatan dan
KUHP maka perubahan paradigma adalah sebuah keniscayaan. Melalui karya anak bangsa tersebut kita telah melakukan penyempurnaan kebijakan pemidanaan di berbagai aspek. Paradigma
pemidanaan kedepan telah mengakomodir keadilan restoratif yang hadir menjadi sebuah alternatif penanganan terhadap suatu pelanggaran hukum. Selaras dengan hal tersebut maka pemidanaan kedepan harus mampu menitikberatkan pada upaya untuk memberikan penyelesaian secara berkeadilan dan mencoba memulihkan keadaan seperti semula. Pemidanaan kedepan juga harus mampu dimaknai
sebagai upaya memberikan perhatian yang besar pada korban, pelibatan masyarakat dalam upaya penyelesaian perkara, dan mengembangkan tanggung jawab pelaku.
Dalam strategi penanganan overcrowded,
pemidanaan kedepan harus memiliki kaitan erat dengan deinstitusionalisasi yang dapat berbentuk pelaksanaan diversi sampai dengan pidana alternatif
non pemenjaraan atau bentuk-bentuk penghukuman yang berbasis masyarakat lainnya,” pungkasnya.***