Opini: Serangan Fajar, Ketika Demokrasi Kehilangan Martabat
Oleh: Andi Awaluddin Ma'ruf (Pemerhati Politik dan Demokrasi)
Jelang fajar, ketika kabut masih membungkus perkampungan, sebuah praktik politik yang meresahkan tengah menggerogoti sendi-sendi demokrasi kita. Namanya “serangan fajar” – sebuah istilah yang terdengar dramatis, namun sesungguhnya menyimpan realitas pahit tentang bagaimana kualitas pilkada kita tersungkur.
Potret Awal Mula
Bayangkan seorang warga yang seharusnya memilih berdasarkan nurani, tiba-tiba mendapatkan amplop berisi uang atau janji-janji manis menjelang pencoblosan. Inilah “serangan fajar” dalam versi paling sederhana – transaksi politik yang merendahkan martabat demokrasi.
Praktik ini bukan sekadar fenomena baru. Ia lahir dari rahim demokrasi langsung pasca reformasi, di mana pintu partisipasi rakyat dibuka selebar-lebarnya. Ironisnya, pintu yang dimaksudkan untuk transparansi ini justru menjadi lorong gelap praktik kotor politik uang.
Mekanisme Kerusakan
Politik uang bukanlah sekadar soal amplop atau sembako. Ia adalah virus sistemik yang menggerogoti sistem demokrasi dari dalam. Bermula dari transaksi kecil, berkembang menjadi strategi masif yang hampir dianggap “wajar” dalam setiap kontestasi politik lokal. Para kandidat tak lagi berkompetisi dengan gagasan, melainkan dengan kemampuan “membeli” dukungan. Pemilih pun tereduksi menjadi komoditas politik, kehilangan martabatnya sebagai subjek demokrasi.
Dampak yang Tak Terlihat
Kerusakan terparah bukanlah sekadar hasil pemilihan. Ia menyerang lebih dalam – melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Setiap “serangan fajar” adalah pukulan telak bagi idealisme demokrasi yang kita cita-citakan.
Seorang ibu di ujung desa yang menerima bantuan menjelang pemilihan, seorang pemuda yang dibujuk dengan janji kerja, mereka sesungguhnya adalah korban dari sistem yang sakit.
Secercah Harapan
Namun, demokrasi bukan tentang keputusasaan. Ia tentang perjuangan berkelanjutan. Setiap kali kita menolak politik uang, setiap kali kita mendidik pemilih untuk kritis, kita sedang menanam benih perubahan. Pendidikan politik, pengawasan ketat, dan kesadaran kolektif adalah senjata kita. Bukan untuk menyerang, melainkan untuk menyembuhkan.
Pemilih Bermartabat
Demokrasi sejatinya adalah tentang pilihan bebas, bermartabat, dan bermoral. “Serangan fajar” adalah antitesis dari semua itu. Saatnya kita membangkitkan kembali nurani demokrasi – di mana setiap suara adalah nyawa, bukan sekadar komoditas.
Mari kita jadikan pemilihan bukan tentang berapa banyak uang yang diterima, melainkan sebesar apa harapan yang bisa kita wujudkan bersama.*